Janji di Bawah Gerimis
Gerimis itu datang lagi, mengendap-endap seperti kenangan yang tak pernah diundang. Aku berdiri di halte bus, menunggu sesuatu yang tak pasti. Di tengah gerimis ini, selalu ada bayangan masa lalu yang datang tanpa permisi. Bayangan masa SMA, bayangan Maya, dan bayangan janji yang pernah kami buat.
Maya dan aku bertemu pertama kali di hari yang basah. Kami berteduh di bawah kanopi kecil di depan sekolah. Aku yang kikuk dan Maya yang ceria, perpaduan yang aneh namun justru itu yang membuat kami klik. Seiring waktu, kami menjadi sahabat karib. Bukan hanya sahabat biasa, tapi sahabat yang selalu punya tempat spesial di hati satu sama lain.
“Apa yang kamu suka dari gerimis?” tanyaku suatu hari, saat kami duduk di bangku taman sekolah.
Maya menatap langit yang abu-abu, tersenyum kecil. “Gerimis itu seperti pelukan dari alam. Bukan hanya membuat segar, tapi juga membuat kita ingat bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari kita.”
Aku tertawa mendengar jawabannya. “Kamu selalu punya cara melihat dunia yang unik.”
“Dan kamu selalu membuat aku merasa spesial,” jawabnya sambil tersenyum. “Kamu tahu nggak, kita harus buat janji.”
“Janji apa?” tanyaku penasaran.
“Janji kalau kita akan selalu ada satu sama lain, apapun yang terjadi.”
Aku mengangguk. “Setuju. Kita akan selalu bersama.”
Namun, hidup tidak pernah berjalan seperti yang kita rencanakan. Setelah lulus SMA, kami mengambil jalan yang berbeda. Aku kuliah di luar kota, sementara Maya tetap di kota kecil kami. Kami masih berhubungan, tapi jarak dan waktu perlahan mengikis kedekatan kami. Aku tahu ini klise, tapi itulah kenyataannya.
Hari itu, aku sedang sibuk dengan tugas kuliah ketika sebuah undangan pernikahan datang. Nama Maya tertera di sana. Aku terdiam, merasa ada sesuatu yang retak dalam diriku. Aku tahu saat itu juga, aku tidak akan bisa hadir. Bukan karena sibuk, tapi karena tidak sanggup melihatnya bahagia dengan orang lain.
Waktu berlalu, dan aku berusaha melupakan Maya. Namun, setiap kali gerimis turun, bayangan Maya selalu kembali. Hingga suatu hari, sebuah pesan singkat masuk.
“Aku butuh bicara denganmu. Bisa ketemu di tempat biasa?”
Hatiku berdebar. Tempat biasa? Taman sekolah kami. Aku segera berangkat, menerobos gerimis yang semakin deras. Setibanya di sana, aku melihat Maya duduk di bangku yang sama, tempat kami dulu sering berbicara.
“Maya?” panggilku, mendekatinya.
Dia menoleh, dan aku bisa melihat mata yang penuh kesedihan. “Aku tahu kamu merasa dikhianati,” katanya tanpa basa-basi. “Tapi aku tidak pernah lupa janji kita.”
Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa.
“Suamiku meninggal dalam kecelakaan setahun lalu,” lanjutnya. “Aku tidak tahu harus ke mana, dan aku teringat pada janji kita. Aku kembali ke sini, berharap bisa menemukan sedikit kedamaian.”
Hatiku hancur mendengar ceritanya. “Maaf, aku tidak tahu,” kataku pelan.
Maya tersenyum lemah. “Kamu tidak perlu minta maaf. Hidup memang seringkali tidak sesuai dengan rencana. Tapi aku selalu berharap, di bawah gerimis ini, kita bisa menemukan jalan kembali.”
Kami duduk dalam diam, membiarkan gerimis menjadi saksi bisu perasaan kami. Tiba-tiba, Maya mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah buku harian lama, penuh dengan kenangan masa SMA kami.
“Aku menemukan ini saat beres-beres rumah,” katanya, menyerahkan buku itu padaku. “Aku ingin kamu memilikinya.”
Aku membuka buku itu, melihat tulisan tangan Maya yang rapi. Di salah satu halaman, ada sebuah catatan yang membuatku terkejut.
“Jika kita pernah terpisah, percayalah, di bawah gerimis kita akan bertemu lagi.”
Aku menatap Maya, merasa ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. “Kenapa sekarang?” tanyaku.
Maya menghela napas. “Karena aku butuh kamu untuk menemukan diriku lagi. Aku butuh kamu untuk mengingatkan aku pada janji kita.”
Kami duduk dalam diam, membiarkan gerimis menjadi saksi bisu perasaan kami. Aku tahu, ini bukan akhir dari cerita kami, tapi mungkin awal dari sesuatu yang baru. Di bawah gerimis, janji kami kembali hidup, membawa harapan yang pernah hilang.
Namun, saat aku menoleh ke arah Maya, dia sudah tidak ada. Seperti bayangan yang menghilang dalam kabut, meninggalkan buku harian sebagai satu-satunya bukti bahwa dia pernah ada di sana. Aku menggenggam buku itu erat, merasa ada misteri yang belum terpecahkan.
Di bawah gerimis, aku berjanji pada diriku sendiri. Aku akan menemukan jawabannya, meskipun harus menerobos hujan yang paling deras sekalipun. Karena janji di bawah gerimis ini, tidak akan pernah kulupakan.
Aku mulai membaca buku harian itu. Setiap halaman membawa kembali kenangan yang telah lama terkubur. Tentang momen-momen kecil yang pernah kami alami bersama. Tentang tawa, canda, dan tangis yang pernah kami bagi. Di satu halaman, aku menemukan sebuah foto kami berdua. Di belakang foto itu, tertulis dengan tinta biru, “Kamu adalah sahabat terbaikku. Jangan pernah lupa.”
Aku merasakan air mata mengalir di pipiku. Aku merindukan Maya. Aku merindukan kebersamaan kami. Dan aku merasa bersalah karena telah melupakan janji kami.
Hari-hari berikutnya, aku mencoba menghubungi Maya, tapi nomornya tidak aktif. Aku mencoba mencari tahu tentang keberadaannya, tapi tidak ada yang tahu. Seperti bayangan yang hilang dalam gelap, Maya menghilang tanpa jejak.
Namun, gerimis terus datang, seolah mengingatkan aku pada janji kami. Setiap kali gerimis turun, aku merasakan kehadiran Maya. Aku tahu, di suatu tempat, dia juga merasakan hal yang sama. Dan aku tahu, aku harus menemukannya.
Suatu hari, saat aku sedang berjalan di taman yang sama, aku melihat seorang wanita duduk di bangku yang biasa kami duduki. Hatiku berdebar, berharap itu adalah Maya. Aku mendekat, dan ternyata itu adalah seorang wanita tua.
“Maaf, apakah kamu mengenal Maya?” tanyaku penuh harap.
Wanita itu tersenyum lembut. “Aku adalah bibinya. Maya sering bercerita tentangmu. Dia sangat merindukanmu.”
Hatiku hancur mendengar kata-katanya. “Di mana dia sekarang?” tanyaku penuh rasa ingin tahu.
Bibinya menatapku dengan sedih. “Maya telah pergi. Dia meninggal beberapa bulan yang lalu.”
Aku terdiam, tidak bisa mempercayai apa yang baru saja kudengar. “Bagaimana bisa?” tanyaku dengan suara bergetar.
“Dia menderita penyakit yang parah. Dia tidak ingin kamu tahu, karena dia tidak ingin kamu khawatir. Dia ingin kamu tetap melanjutkan hidupmu.”
Aku merasa dunia runtuh di sekitarku. Maya, sahabat terbaikku, telah pergi. Dan aku tidak ada di sana untuknya. Aku merasa sangat bersalah.
“Dia meninggalkan ini untukmu,” kata bibinya, menyerahkan sebuah kotak kecil padaku. Aku membuka kotak itu, dan di dalamnya terdapat sebuah surat dan kalung dengan liontin berbentuk hati.
Aku membuka surat itu, dan air mataku mulai mengalir saat aku membaca kata-kata terakhir Maya.
“Dear sahabat terbaikku, jika kamu membaca ini, berarti aku sudah tidak ada lagi di dunia ini. Aku minta maaf karena tidak memberitahumu tentang penyakitku. Aku tidak ingin kamu khawatir. Aku ingin kamu tetap melanjutkan hidupmu dan menemukan kebahagiaan. Aku selalu mencintaimu, sahabatku. Dan aku selalu berharap kita akan bertemu lagi di suatu tempat, di bawah gerimis ini. Love, Maya.”
Aku menggenggam kalung itu erat, merasakan kehangatan Maya melalui liontin itu. Aku tahu, meskipun dia sudah pergi, dia akan selalu ada di hatiku. Dan aku tahu, aku harus melanjutkan hidupku, seperti yang dia inginkan.
Aku bangkit dari bangku itu, merasakan gerimis mulai turun. Aku menatap langit, membiarkan tetesan air menyapu wajahku. Di bawah gerimis ini, aku merasa kehadiran Maya. Dan aku tahu, janji kami masih hidup, meskipun dia sudah tidak ada.
Di bawah gerimis ini, aku berjanji pada diriku sendiri. Aku akan melanjutkan hidupku, menemukan kebahagiaan, dan selalu mengenang Maya. Karena janji di bawah gerimis ini, akan selalu hidup di hatiku.
Hujan semakin deras, tapi aku tidak peduli. Aku berjalan meninggalkan taman itu, dengan hati yang penuh kenangan dan harapan. Di bawah gerimis ini, aku menemukan kekuatan untuk melanjutkan hidupku. Dan aku tahu, di suatu tempat, Maya juga tersenyum, melihatku menemukan jalanku kembali.